Anak-anak merupakan aset masa depan dan permata untuk bangsa
Sebagai pengingat kembali
Bahwa semangat itu masih ada
Repost tulisan saya sendiri dari selasar
Note: Essay yang saya tulis kala itu saat mengikuti seleksi salah satu beasiswa bergengsi di kampus
-saya menulis ini di tahun 2018 silam, tulisan yang di bold menjadi evaluasi dan mengingatkan saya ada mimpi yang belum diselesaikan. Berharap mungkin ada yang memiliki mimpi yang sama dan bisa bergerak bersama.
Bahwa semangat itu masih ada
Repost tulisan saya sendiri dari selasar
Note: Essay yang saya tulis kala itu saat mengikuti seleksi salah satu beasiswa bergengsi di kampus
Kisah cinta
berawal dari lulus seleksi menjadi Volunteer Lentera Desa tahun 2015-2016 yang
diadakan oleh organisasi BINA DESA BEM KM IPB. Saya benar-benar jatuh cinta. Kala
itu organisasi Bina Desa yang didanai Samawa Foundation memilih tiga anak kelas
6 SD yang akan menghadapi Ujian Nasional untuk dijadikan Beswan. Anak-anak ini
berpotensi dengan kepintaran yang mereka miliki namun memiliki dinding penghalang
bernama ekonomi. Saya sebagai volunteer diminta untuk membantu mereka dalam
memahami dan mengerjakan soal-soal latihan UN serta memotivasi mereka untuk
terus semangat melanjutkan pendidikan. Tiga beswan ini terdiri dari dua orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki ini mendapatkan
dukungan penuh dari orangtuanya walaupun dia memang tidak sepintar kedua teman
perempuannya. Akan tetapi, sebaliknya dengan kedua anak perempuan yang
orangtuanya tidak mendukung sepenuhnya untuk mereka melanjutkan pendidikan karena
menurut mereka anak perempuan cukup menjadi ibu rumah tangga dan membantu
berkebun. “Toh nanti anak perempuan jadi seorang istri dan ibu, hanya tinggal
di rumah.” dan “mending langsung kerja aja biar dapat uang.” Itulah pikiran
mereka. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh mayoritas ibu-ibu yang masih banyak
lulusan SD. Seorang perempuan yang bekerja menjadi ibu rumah tangga, mengurus
suami dan anak justru haruslah berpendidikan tinggi karena seorang ibu adalah
madrasah bagi anaknya. Hal ini begitu menyentuh dan ironi bagi saya, sebab
mungkin masih banyak daerah/desa lain di Indonesia yang mengalami hal ini.
Saya dan lima volunteer
terpilih lainnya tidak hanya mengajarkan ketiga beswan tersebut namun juga
mengajarkan anak-anak lain di rumah pelangi. Rumah pelangi terletak pada desa
yang sama dengan tempat tinggal ketiga beswan yaitu di Desa Ciaruteun Ilir 2.
Rumah Pelangi ini hanyalah sebutan dari Bina Desa yang sebenarnya tempat
tersebut merupakan madrasah non formal miliki salah satu tokoh Agama. Kebahagiaan
rasanya menjadi milik saya saat itu. Betapa menyenangkannya bisa melihat
adik-adik kecil tersenyum karena belajar. Sering kami bercanda dengan adik-adik
agar mereka terasa lebih nyaman untuk belajar bersama. Ada beberapa anak
laki-laki yang sering membuat pantun saat belajar dan membuat teman-teman lain
merasakan bahwa belajar bersama begitu menyenangkan. Suatu ketika kami meminta
anak-anak untuk menuliskan apa cita-cita mereka. Ada satu anak yang menulis
bahwa cita-citanya adalah petani dan ketika ditanya mengapa jawabnya adalah
“Karena ayah petani.” dan banyak juga yang cita-citanya tidak bervariasi dan
rata-rata menjawab menjadi guru atau ustadz. Cita-cita mereka baik namun
terlihat jelas bahwa pemikiran mereka belum terbuka. Mereka melihat apa yang
ada di sekitar mereka, mereka belum dapat mengetahui potensi-potensi lain yang
dapat mereka kembangkan. Begitu banyak hal yang saya pelajari dan membuat
pandangan saya terbuka, salah satunya adalah bahwa desa akan lebih berkembang
apabila anak-anak yang kelak menjadi sumber daya manusia desa memiliki potensi
namun sangat disayangkan potensi tersebut terpendam dan tidak dikembangkan
dengan baik. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan
tidak hanya formal namun juga nonformal. Pendidikan nonformal mungkin akan
menjadi efektif untuk mereka yang memang dituntut keluarga untuk mencari
penghasilan. Pendidikan nonformal dapat berupa kelas keterampilan serta kelas
penambahan ilmu lainnya seperti bagaimana melakukan budidaya tanaman yang baik
ataupun belajar entrepreneurship. Terkadang
kita sebagai mahasiswa datang ke suatu desa atau daerah dengan bangganya
membawa program kerja tanpa tahu apa kebutuhan dari desa tersebut, apakah
program kerja tersebut bermanfaat besar pada kehidupan mereka? Apakah warga
desa akan menerapkannya ketika mahasiswa sudah tidak di desa mereka lagi?
Apakah warga turut berpartisipasi? Terkadang yang kita perlu lakukan adalah
hal-hal kecil yang dampaknya nyata bagi orang lain ketika memang hal besar
sulit untuk dilakukan.
Bogor tempat saya menuntut ilmu,
sering kali saya temui anak-anak jalanan berusia belia dan banyak juga yang
mengamen dari satu angkot ke angkot lainnya. Impian saya adalah memiliki rumah
belajar untuk anak-anak disekitar kampus saja untuk anak-anak yang sering
mengemis dan menjadi pemulung. Alhamdulillah, Saya bersyukur sekarang sudah ada
sebuah komunitas yang telah melakukannya. Saya kalah cepat namun kalah cepat
dalam hal kebaikan bukanlah hal yang buruk dan sebagai motivasi untuk bertindak
lebih dan ambil bagian dari komunitas tersebut. Kini saya sedang berusaha untuk mendirikan komunitas yang akan membantu
anak-anak tersebut memiliki keterampilan serta mengembangkan potensi yang
mereka miliki, karena jalan sukses tidak hanya dapat diraih melalui jalur
pendidikan formal. Banyak mahasiswa/mahasiswi yang punya banyak kemampuan
ataupun kelebihan lainnya, saya berharap mahasiswa/mahasiswi ini dapat membantu
anak-anak tersebut. Kenapa tidak memulai kebaikan dari lingkungan sekitar kita
sendiri terlebih dahulu? Dan tentu akan lebih menyenangkan ketika kita
mengajari anak-anak mengenai hal yang kita juga senangi.-saya menulis ini di tahun 2018 silam, tulisan yang di bold menjadi evaluasi dan mengingatkan saya ada mimpi yang belum diselesaikan. Berharap mungkin ada yang memiliki mimpi yang sama dan bisa bergerak bersama.
Komentar
Posting Komentar