Anak-anak merupakan aset masa depan dan permata untuk bangsa

Sebagai pengingat kembali
Bahwa semangat itu masih ada
Repost tulisan saya sendiri dari selasar
Note: Essay yang saya tulis kala itu saat mengikuti seleksi salah satu beasiswa bergengsi di kampus

Kisah cinta berawal dari lulus seleksi menjadi Volunteer Lentera Desa tahun 2015-2016 yang diadakan oleh organisasi BINA DESA BEM KM IPB. Saya benar-benar jatuh cinta. Kala itu organisasi Bina Desa yang didanai Samawa Foundation memilih tiga anak kelas 6 SD yang akan menghadapi Ujian Nasional untuk dijadikan Beswan. Anak-anak ini berpotensi dengan kepintaran yang mereka miliki namun memiliki dinding penghalang bernama ekonomi. Saya sebagai volunteer diminta untuk membantu mereka dalam memahami dan mengerjakan soal-soal latihan UN serta memotivasi mereka untuk terus semangat melanjutkan pendidikan. Tiga beswan ini terdiri dari dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki ini mendapatkan dukungan penuh dari orangtuanya walaupun dia memang tidak sepintar kedua teman perempuannya. Akan tetapi, sebaliknya dengan kedua anak perempuan yang orangtuanya tidak mendukung sepenuhnya untuk mereka melanjutkan pendidikan karena menurut mereka anak perempuan cukup menjadi ibu rumah tangga dan membantu berkebun. “Toh nanti anak perempuan jadi seorang istri dan ibu, hanya tinggal di rumah.” dan “mending langsung kerja aja biar dapat uang.” Itulah pikiran mereka. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh mayoritas ibu-ibu yang masih banyak lulusan SD. Seorang perempuan yang bekerja menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak justru haruslah berpendidikan tinggi karena seorang ibu adalah madrasah bagi anaknya. Hal ini begitu menyentuh dan ironi bagi saya, sebab mungkin masih banyak daerah/desa lain di Indonesia yang mengalami hal ini.
                  Saya dan lima volunteer terpilih lainnya tidak hanya mengajarkan ketiga beswan tersebut namun juga mengajarkan anak-anak lain di rumah pelangi. Rumah pelangi terletak pada desa yang sama dengan tempat tinggal ketiga beswan yaitu di Desa Ciaruteun Ilir 2. Rumah Pelangi ini hanyalah sebutan dari Bina Desa yang sebenarnya tempat tersebut merupakan madrasah non formal miliki salah satu tokoh Agama. Kebahagiaan rasanya menjadi milik saya saat itu. Betapa menyenangkannya bisa melihat adik-adik kecil tersenyum karena belajar. Sering kami bercanda dengan adik-adik agar mereka terasa lebih nyaman untuk belajar bersama. Ada beberapa anak laki-laki yang sering membuat pantun saat belajar dan membuat teman-teman lain merasakan bahwa belajar bersama begitu menyenangkan. Suatu ketika kami meminta anak-anak untuk menuliskan apa cita-cita mereka. Ada satu anak yang menulis bahwa cita-citanya adalah petani dan ketika ditanya mengapa jawabnya adalah “Karena ayah petani.” dan banyak juga yang cita-citanya tidak bervariasi dan rata-rata menjawab menjadi guru atau ustadz. Cita-cita mereka baik namun terlihat jelas bahwa pemikiran mereka belum terbuka. Mereka melihat apa yang ada di sekitar mereka, mereka belum dapat mengetahui potensi-potensi lain yang dapat mereka kembangkan. Begitu banyak hal yang saya pelajari dan membuat pandangan saya terbuka, salah satunya adalah bahwa desa akan lebih berkembang apabila anak-anak yang kelak menjadi sumber daya manusia desa memiliki potensi namun sangat disayangkan potensi tersebut terpendam dan tidak dikembangkan dengan baik. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya formal namun juga nonformal. Pendidikan nonformal mungkin akan menjadi efektif untuk mereka yang memang dituntut keluarga untuk mencari penghasilan. Pendidikan nonformal dapat berupa kelas keterampilan serta kelas penambahan ilmu lainnya seperti bagaimana melakukan budidaya tanaman yang baik ataupun belajar entrepreneurship. Terkadang kita sebagai mahasiswa datang ke suatu desa atau daerah dengan bangganya membawa program kerja tanpa tahu apa kebutuhan dari desa tersebut, apakah program kerja tersebut bermanfaat besar pada kehidupan mereka? Apakah warga desa akan menerapkannya ketika mahasiswa sudah tidak di desa mereka lagi? Apakah warga turut berpartisipasi? Terkadang yang kita perlu lakukan adalah hal-hal kecil yang dampaknya nyata bagi orang lain ketika memang hal besar sulit untuk dilakukan.
            Bogor tempat saya menuntut ilmu, sering kali saya temui anak-anak jalanan berusia belia dan banyak juga yang mengamen dari satu angkot ke angkot lainnya. Impian saya adalah memiliki rumah belajar untuk anak-anak disekitar kampus saja untuk anak-anak yang sering mengemis dan menjadi pemulung. Alhamdulillah, Saya bersyukur sekarang sudah ada sebuah komunitas yang telah melakukannya. Saya kalah cepat namun kalah cepat dalam hal kebaikan bukanlah hal yang buruk dan sebagai motivasi untuk bertindak lebih dan ambil bagian dari komunitas tersebut. Kini saya sedang berusaha untuk mendirikan komunitas yang akan membantu anak-anak tersebut memiliki keterampilan serta mengembangkan potensi yang mereka miliki, karena jalan sukses tidak hanya dapat diraih melalui jalur pendidikan formal. Banyak mahasiswa/mahasiswi yang punya banyak kemampuan ataupun kelebihan lainnya, saya berharap  mahasiswa/mahasiswi ini dapat membantu anak-anak tersebut. Kenapa tidak memulai kebaikan dari lingkungan sekitar kita sendiri terlebih dahulu? Dan tentu akan lebih menyenangkan ketika kita mengajari anak-anak mengenai hal yang kita juga senangi.

-saya menulis ini di tahun 2018 silam, tulisan yang di bold menjadi evaluasi dan mengingatkan saya ada mimpi yang belum diselesaikan. Berharap mungkin ada yang memiliki mimpi yang sama dan bisa bergerak bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How to be 'positive' and happy with the easiest way

'Kayaknya gak nyampe deh'

Katanya pengen 'Gabut'